“Sudah terlalu banyak buku traveling sebelumnya, terutama tentang Eropa dan segala keindahannya, yang hadir. Bangunan-bangunan, tempat yang wajib dikunjungi berikut tip-tip perjalanan dan cara kreatif untuk berhemat, semua dikemas untuk pembaca. Tapi buat saya sendiri, hakikat sebuah perjalanan bukanlah sekedar menikmati keindahan dari satu tempat ke tempat lain. Bukan sekedar mengagumi dan menemukan tempat-tempat unik di suatu daerah dengan biaya semurah-murahnya.

Menurut saya, makna sebuah perjalanan harus lebih besar daripada itu. Bagaimana perjalanan tersebut harus bisa membawa pelakunya naik ke derajat yang lebih tinggi, memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh perjalanan hijrah Nabi Muhammad saw. dari Mekkah ke Madinah.”

Hanum Salsabiela Rais – 99 Cahaya di Langit Eropa


  • Judul: 99 Cahaya di Langit Eropa
  • Oleh: Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
  • Cetakan Pertama: Juli 2011
  • Total Halaman: 412

Panggil saja dia Hanum. Sosok perempuan dibalik buku 99 Cahaya di Langit Eropa. Buku ini bercerita tentang kisahnya selama tinggal di benua biru bersama sang suami, Rangga.

Hanum membuka cerita dengan sebuah kisah penaklukan kota di Eropa Barat pada tahun 11 September 1683. Sesosok panglima tengah memikirkan siasat untuk mengepung benteng kota tersebut sebelum dia mendengar berita buruk dari penasihatnya. Cerita ini berakhir dengan sebuah penyesalan dari sang panglima karena pada akhirnya dia tewas di tangan musuh saat mengepung kota.

Siapakah sebenarnya yang aku bela dalam perang ini? Diriku sendiri? Sultanku? Agamaku? Atau ketamakanku? (99 Cahaya di Langit Eropa, hlm. 15)

Wina. Di bab ini Hanum berkenalan dengan Fatma Pasha untuk pertamakalinya. Fatma merupakan seorang imigran Turki yang sudah tinggal 3 tahun di Austria bersama suaminya. Mereka bertemu pertama kali dalam kelas bahasa Jerman yang diselenggarakan oleh pemerintah Austria. Fatma menjadi teman jalan-jalan Hanum selama di Wina. Bersama Ayse, anak Fatma, mereka bertiga berkeliling kota bersama. Saat berada di Wina, Fatma tak melewatkan kesempatan untuk menunjukkan bukit Kahlenberg pada Hanum. Kahlenberg adalah sebuah bukit atau pegunungan di Wina, Austria yang masih menjadi bagian kecil dari gugusan Alpen yang mengitari 7 negara Eropa. Dari Kahlenberg, orang bisa melongok cantiknya Wina dari ketinggian, dari pojok A sampai Z. Menurut Hanum dari sini orang bisa menelanjangi kota Wina seutuhnya tanpa batas.

Berkenalan dengan Fatma tak hanya membuat Hanum tahu destinasi-destinasi turis di negara ini. Tapi jauh dari itu Fatma menjadi teman diskusi tentang agama mereka, Islam. Melalui Fatmalah Hanum tahu informasi-informasi perkembangan muslim di Austria dan negara-negara Eropa sekitarnya.

Cerita demi cerita Hanum bagikan dalam buku ini termasuk bagaimana reaksi Fatma menghadapi turis yang mengejek kekalahan Turki di Austria melalui sepotong roti Croissant saat mereka singgah disebuah kafetaria di seberang Saint Joseph.

“Croissant itu bukan dari Perancis, guys, tapi dari Austria. Roti untuk merayakan kekalahan Turki di Wina. Kalau bendera Turki itu berbentuk hati, pasti roti croissant sekarang berbentuk ‘love’ bukan bulan sabit, dan tentu namanya bukan croissant, tapi l’amour.”

Hanum bercerita bahwa dirinya cuma bisa terdiam, tercekat, saat melihat Fatma diam-diam membayar semua tagihan makanan turis-turis yang mengejek negaranya alih-alih membalasnya dengan kemarahan.

“Hari itu Fatma, orang biasa yang baru ku kenal 2 minggu lalu di kelas bahasa Jerman, memberiku pelajaran luar biasa. Aku tak perlu mendengarkan para ustadz atau ulama di TV yang mengajarkan arti kesabaran dan menahan emosi. Aku juga tak perlu mendengarkan khotbah para motivator hidup dan kesuksesan yang semakin menjamur di layar kaca. Aku juga tak perlu membaca kutipan kata-kata wisdom of life dari para tweep dan facebooker. Hari itu Fatma memberiku pesan yang sangat jelas, konkret tentang cara menahan diri yang belum tentu bisa dilakukan sembarang orang.”

Tak berhenti sampai situ saja, ada juga cerita dimana Fatma mengajak Hanum dan suaminya untuk makan bersama di restoran ala Pakistan bernama Der Wiener Deewan, dengan slogan uniknya – All you can eat. Pay as you wish. Restoran  ini unik karena konsep bisnisnya – makan sepuasnya bayar seikhlasnya dengan kata lain pengunjung bisa mengambil porsi makanan sesuka mereka dan membayar berapapun sesuka mereka bahkan tak membayarpun tak jadi soal.

“Kalau di Jakarta, pasti sudah bangkrut.” Komentar Rangga, suami Hanum, saat membaca slogan tersebut. Menurutnya strategi bisnis ini tidak masuk akal karena memutarbalikkan konsep bisnis di dunia. Apalagi restoran ini sudah berdiri sejak tahun 2003.

“Konsep ikhlas memberi dan menerima. Take and give. Natalie Deewan (pemilik restoran) percaya bahwa sisi terindah dari manusia adalah kedermawanan.” Jelas Selim, suami Fatma yang ikut makan bersama mereka.

“Janji Allah agar umat-Nya ikhlas berderma, bersedekah, berzakat, atau apapun istilahnya, niscaya akan bertambah kaya memang benar-benar terbukti. Kalau tidak, mana mungkin Natalie bisa bertahan bertahun-tahun tanpa keuntungan alias tekor tak berkesudahan? Warungnya saja sudah berdiri di areal jantung kota Wina yang bernama Schottentor, yang pasti memorot uang sewa habis-habisan.”

Masih banyak cerita perjalanan Hanum dan Rangga di dalam buku ini, kalau gue uraikan satu per satu di sini bisa berepisode-episode nantinya. Yang jelas buku ini worth to read. Karena tidak hanya menyajikan cerita-cerita traveling biasa tapi juga perjalanan napak tilas, menembus ruang dan waktu untuk mengenal Islam lebih dalam. Pertemuan Hanum dengan Fatma hanyalah sebagai pembuka bagi Hanum untuk mengenal agamanya melalui jejak peninggalan Islam di bumi Eropa. Dari Wina dia akan memperluas kunjungannya ke Paris, Cordoba, Granada, Istanbul, dan sampai akhirnya ke baitullah, Mekkah.

Kutipan Prolog 99 Cahaya di Langit Eropa

Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Berbagai kejadian sejak 10 tahun terakhir – misalnya pengeboman Madrid dan London, menyusul serangan teroris 11 September di Amerika, kontroversi kartun Nabi Muhammad, dan film Fitna di Belanda – menyebabkan hubungan dunia Islam dan Eropa mengalami ketegangan yang cukup serius.

Banyak di antara umat Islam kini yang tidak lagi mengenali sejarah kebesaran Islam pada masa lalu. Tidak banyak yang tahu bahwa luas teritori kekhalifahan Umayyah hampir 2 kali lebih besar daripada wilayah Kekaisaran Roma di bahwa Julius Caesar. Tidak banyak yang tahu pula bahwa peradaban Islam-lah yang memperkenalkan Eropa pada  Aristoteles, Plato, dan Socrates, serta akhirnya meniupkan renaissance bagi kemajuan Eropa saat ini. Cordoba, ibu kota kekhalifahan Islam di Spanyol pernah menjadi pusat peradaban pengetahuan dunia, yang membuat Paris dan London iri hati.

Tidak bisa kita mungkiri, peradaban Islam mengalami kemunduran selama beberapa abad terakhir. Di tengah retorika teriakan jihad untuk memerangi negara-negara barat, kita dihadapkan pada suatu realitas: tidak ada satu pun negara Islam yang memiliki kemampuan teknologi untuk melindungi dirinya sendiri saat ini.

Dunia Islam saat ini sudah mulai memalingkan muka dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin jauh dari akar yang membuatnya bersinar lebih dari 1000 tahun yang lalu.

Perjalanan saya menjelajahi Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan Islam di benua ini. Vienna, Paris, Madrid, Cordoba, Granada, dan Istanbul masuk dalam manifes perjalanan saya selama menjelajahi Eropa.

Perjalanan ini membuka mata saya bahwa Islam dulu pernah menjadi sumber cahaya terang benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan. Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan teror dan kekerasan.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.